Gender Dalam Islam

Jumat, 10 September 2010

"Sebelum kedatangan Islam, wanita merupakan sesuatu yang tak berharga sehingga masyarakat Arab selalu memandangnya dengan sebelah mata. Al-Qur’an menyebutkan bahwa wanita adalah sosok yang mengurusi pendidikan hati dan roh manusia, sementara roh dan hati manusia bukanlah pria maupun wanita. Oleh sebab itu al-Qur’an meniadakan tema wanita dan pria agar tidak ada tempat untuk menjelaskan persamaan atau perbedaan antara kedua jenis manusia tersebut. Ketika masalah wanita dibahas oleh al-Qur’an dan hadits, hal tersebut tidak dapat dilihat sebagai sebuah keistimewaan yang melebihkannya dari pria."

Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang dengan jelas menyebut nama pria dan wanita. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan pikiran jahiliyah, yang mereka telah membedakan antara pria dan wanita. Mereka menganggap bahwa ibadah dan kemuliaan hanya milik kaum pria. Oleh sebab itu al-Qur’an datang dengan analisa nalar bahwa seseuatu yang harus disempurnakan adalah roh, dan roh bukan wanita maupun pria.

Sebelum kedatangan Islam, wanita merupakan sesuatu yang tak berharga sehingga masyarakat Arab selalu memandangnya dengan sebelah mata. Al-Qur’an menyebutkan bahwa wanita adalah sosok yang mengurusi pendidikan hati dan roh manusia, sementara roh dan hati manusia bukanlah pria maupun wanita. Oleh sebab itu al-Qur’an meniadakan tema wanita dan pria agar tidak ada tempat untuk menjelaskan persamaan atau perbedaan antara kedua jenis manusia tersebut. Ketika masalah wanita dibahas oleh al-Qur’an dan hadits, hal tersebut tidak dapat dilihat sebagai sebuah keistimewaan yang melebihkannya dari pria.

Dalam masalah ibadah umpamanya, tidak ada satu iabadah pun yang tidak melibatkan wanita. Bahkan dalam masalah haid sekalipun, meski ada riwayat yang mengatakan, “Tinggalkanlah salat ketika kamu dalam keadaan haid.”[1]

Sebab ada riwayat , bahwa jika seorang wanita dalam keadaan haid kemudian ia berudhu dan duduk di tempat shalatnya pada saat waktu shalat wajib tiba, kemudian menghadap kibalat sambil berzikir, maka ia akan memperoleh pahala shalat yang saat itu tidak boleh dilakukannya. Maka itu, tidak ada satu pun bentuk kesempurnaan yang hanya dapat digapai kaum pria saja, sehingga wanita terhalang untuk mendapatkannya. Tentunya masalah-masalah fiqhilah yang mengurusi pembagian masalah tehnis pelaksanaan, apa saja yang harus dilakukan pria dan tidak boleh dilakukan wanita. Namun, sekali lagi itu hanya berkaitan dengan pelaksanaan teknis semata. Adapun dalam masalah pengetahuan tafsir, filsafat dan irfan, tidak ada pembahasan tentang perbedaan antara pria maupun wanita, yang menentukan adalah sisi kemanusiaan.

Oleh sebab itu, jika permasalahannya adalh pendidikan roh, maka roh bukan pria maupun wanita, karena di sini semua sama. Sementara itu ayat-ayat al-Qur’an yang banyak menggunakan bentuk maskulin dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Kelompok pertama, ayat-ayat yang tidak dikhususkan untuk satu jenis saja seperti ayat yang menyebutkan kata an-nas atau insane (manusia) atau yang disebut dengan kata man (siapa).

Kelompok kedua, ayat-ayat yang berbicara tentang pria seperti ayat-ayat yang menggunakan bentuk maskulin (kata yang mengandung arti banyak dengan diakhiri dengan huruf waw dan nun atau ya’ dan nun seperti kata muslimun atau muslimin), dan ayat yang mengandung arti maskulin sebagai kata ganti dari kata nas atau yang lainnya, misalnya kata yu’allimikum dan lain-lain. Semua itu berdasarkan bahasa tersendiri yang digunakan al-Qur’an.

Ketika mereka ingin mengatakan, “orang-orang berkata demikian, orang-orang mengharapkan demikian, orang-orang menyuarakan demikian”, kata “orang-orang” yang dalam bahasa Arabnya an-nas bukanlah sebagai lawan dari kata an-nisa (wanita) namun yang dimaksudkan an-nas (orang-orang) adalah khalayak ramai. Dari sini, maka kita pun tidak dapat menyimpulkan bahwa al-Qur’an selalu cenderung menggunakan bentuk maskulin dalam ungkapan-ungkapannya, karena hal itu cukup popular digunakan dalam dunia kesusastraan Arab.

Kelompok ketiga, kata-kata yang menggunakan kata pria dan wanita. Dijelaskan dalam ayat tersebut bahwa dalam halini bukan masalah pria dan wanita, namun untuk menjelaskan bahwa antara pria dan wanita tidak terjadi perbedaan, hal itu seperti dalam firman Allah yang berbunyi;

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perrempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (Qs. An-Nahl:97)”

Al-Qur’an turun untuk membersihkan roh. Ketika roh beribadah dan mendekat kepada Allah SWT. dia dihukumi sebagai ‘amil, artinya orang yang melakukan, baik fisiknya berjenis wanita maupun pria; ia tidak berbeda. Jika demikian, maka dalam hal makrifat Allah, keikhlasan dan kemauan teguh, tidak ada perbedaan antara pria maupun wanita.

Jelaslah bahwa gender tidaklah berperan dalam hal menerima ajaran-ajaran al-Qur’an. Allah SWT. mengatakan bahwa fisik manusia pertama (Adam as) adalah bersumber dari tanah (thin); “sesungguhnya Aku menciptakan manusia dari tanah (Qs. Shad: 71).

Terkadang Allag SWT. mengatakan bahwa manusia diciptakan dari tanah liat kering (shalshal), juga hama’ masnun (Lumpur hitam yang diberi bentuk). “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat (yang berasal) dari Lumpur hitam yang diberi bentuk (Qs. Al-Hijr: 26).

Jika demikian, apa yang akan dibanggakan manusia? Jika harus membanggakan sesuatu, maka kebanggaan yang hakiki adalah terhadap sesuatu yang tidak dapat kita banggakan. Faktor yang dapat dibanggakan hanya ketakwaan saja, yang tidak boleh disertai kesombongan dan kebanggaan.

Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorangperempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang peling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengethaui lagi maha mengenal (Qs. Al-Hujarat: 13).

Ayat ini seakan-akan menyeru umat manusia; jika kalian menginginkan kebanggaan dengan jasad kalian, maka pria diciptakan dari wanita. Begitu pula pria dan wanita, mereka juga diciptakan dari pria dan wanita. Jasad pria tidak lebih utama dari jasad wanita atau sebaliknya. Jika ada orang, jenis manusia atau ras yang ingin membanggakan tubuhnya, maka katakanlah padanya bahwa sesungguhnya setiap ras dari kalian berasal dari wanita dan pria.

Masalah ras dan bahasa merupakan faktor untuk saling mengenal dan identitas alami. Manusia tidak dapat menghilangkan identitas tersebut, ke mana ia pergi pasti membawanya. Wajah, bentuk, tubuh, bahasa, dialek dan lain-lainnya merupakan identitas alami manusia yang melekat pada tubuh. Adapun roh adalah satu, ia bukan barat dan bukan timur, ia bukan Arab dan bukan pula non Arab dan seterusnya.

Identitas bukanlah sesuatu yang perlu dibanggakan. Jika demikian tidak ada sedikit pun –bagi manusia- peluang untuk saling ingin berbangga diri, karena seluruh manusia terdiri dari pria dan wanita, dan suku atau bangsa seluruhnya berkaitan dengan jasad, sementara roh tidak demikian.

Ia (roh) memiliki pembahasan lain yang tidak masuk pada pembahasan tentang identitas dan lain-lainnya. Jika seseorang menginginkan untuk bangga, maka janganlah membanggakan dirinya namun banggalah dengan takwanya.[]


(Dari berbagai sumber)

0 komentar:

Pengikut